9 april 2016 oleh Apung
Sehat jasmani merupakan dambaan semua orang, karena dengan itu manusia bias merasakan indahnya kehidupan yang di berikan oleh Allah SWT. Manusia bias melakukan hal apa saja yang dia kehendaki, berbedadengan orang yang sakit. Untuk itu pada kesempatan kali ini anak-anak SDIT AL USWAH Magetan mengadakan HIKKING ke puncak gunung bancak, yang mana kegiatan seperti ini bertujuan untuk memupuk rasa anggung jawab, keberanian,kerjasama dan merenungi ciptaan-ciptaan Allah. Degan tema BERSAHABAT DENGAN ALAM anak-anak selain latihan fisik di dalamnya juga di muat edukasi tentang cinta lingkungan,ada yang menanam tanaman dan mengumpulkan sampah yang berada di sepanjang jalan naik gunung bancak, harapanya supaya jiwa cinta terhadap alam tertanam pada diri anak sejak dini. Adapun cerita tentang gunung bancak dapat di baca di bawah ini:
CERITA TENTANG GUNUNG BANCAK
Cerita tentang salah satu gunung atau perbukitan yang
berada di wilayah Kabupaten Magetan. Gunung yang aku maksud adalah
Gunung Bancak yang sudah begitu terkenal di Magetan ini.
Letak Geografis Gunung Bancak :
Gunung Bancak terletak diantara empat Kecamatan dari wilayah Kabupaten Magetan diantaranya :
1. Kecamatan Parang : Desa Sundul
2. Kecamatan Ngariboyo : Desa Banjarpanjang
3. Kecamatan Kawedanan : Desa Giripurno, Desa Ngentep
4. Kecamatan Lembeyan : Desa Krowe, Desa Pupus
1. Kecamatan Parang : Desa Sundul
2. Kecamatan Ngariboyo : Desa Banjarpanjang
3. Kecamatan Kawedanan : Desa Giripurno, Desa Ngentep
4. Kecamatan Lembeyan : Desa Krowe, Desa Pupus
Titik koordinat dari Gunung Bancak Magetan berada di sekitar titik 27,43.01.28 LS dan 111,23.29.73 BT.
Gunung Bancak : kumpulan banyak bukit
Kalau Anda mencoba melihat keberadaan Gunung Bancak dari
foto hasil pencitraan satelit, mungkin akan terlihat bahwa Gunung Bancah
hanya terdiri dari dua bukit. Tetapi dalam kenyataanya Gunung Bancak
sendiri terdiri dari banyak bukit yang berkumpul menjadi satu dan
membentuk suatu pegunungan yang dinamakan Gunung Bancak. Masing masing
bukit tersebut diberi nama sesuai dengan nama puncak dari bukit
tersebut. Diantaranya :
1. Bukit Seprecet
2. Bukit Semunu
3. Bukit Sekelir
4. Puntuk Simun
5. Bukit Ceme
6. Bukit Selenguk, dll
1. Bukit Seprecet
2. Bukit Semunu
3. Bukit Sekelir
4. Puntuk Simun
5. Bukit Ceme
6. Bukit Selenguk, dll
Keadaan Alam
Dahulu sebagian besar tanah Gunung Bancak digunakan warga sekitar yang
mempunya hak milik tanah di situ sebagai ladang yang sering ditanami ubi
ubian untuk menopang kehidupan mereka. Tetapi sekarang seiring
berkembangnya pengetahuan dan wawasan warga sekitar, ladang ladang yang
dulu digunakan sebagai lahan pertanian sekarang dialih fungsikan
sebagai hutan rakyat yang kebanyakan ditanami dengan pohon jati. Jadi
kalau pada musim penghujan Gunung Bancak selalu berubah seperti layaknya
hutan jati yang begitu lebat dan padat. Ditambah dengan tumbuh suburnya
semak semak sehingga menjadikan Gunung Bancak seperti hutan belantara.
Untuk menopang pertanian masyarakat dan memudahkan
mengangkutan hasil pertanian, sekarang ini di Gunung Bancak sudah ada
akses jalan yang bisa dilewati oleh kendaraan semacam Truk untuk
mengangkut kayu hasil hutan yang ada. Ada dua akses jalan yang membelah
perbukitan di gunung ini yaitu :
- Jalan antara Desa Sundul Kecamatan Parang yang terhubung dengan Desa Giripurno Kecamatan Kawedanan.
- Jalan antara Desa Krowe Kecamatan Lembeyang yang terhubung dengan Desa Ngentep Kecamatan Kawedanan..
Dua akses jalan tersebut sangat membantu masyarakat sekitar untuk memperlancar mengangkut hasil pertanian dan hasil hutan.
Di tengah perbukitan Gunung Bancak ada semacam lembah yang lumayan luas
dan datar yang digunakan sebagai lahan pertanian warga. Daerah itu
lebih terkenal dengan daerah Telogo Asat ( telaga yang tidak ada
airnya). Konon ceritanya dahulu memang ada yang mau membuat telaga di
situ. Tetapi belum selesai karena keduluan oleh ayam jago yang berkokok,
seperti layaknya asal usul tempat dan telaga dari daerah lain.
Makam Eyang Maduretno / Sarehan Ratu
Di Gunung Bancak tepatnya di Desa Giripurno ada makam peninggalan jaman
kerajaan yang sangat terkenal yang oleh warga sekitar disebut sebagai
Kuburan Ratu atau Sarean Ratu. Makam tersebut juga terkenal sebagai
Makan Eyang Maduretno yang masih keturunan dari Kerajaan Surakarta.
Alkisah Konon pada waktu itu yang
memegang kekuasaan di Kadipaten Maospati adalah Pangeran Rangga Dirja
ketiga. Sang Pangeran memerintah dan menguasai suatu daerah yang cukup
luas, meliputi beberapa katumenggungan, di antaranya Katumenggungan
Sumarata, Genengan dan sebagainya.
Pada waktu itu
Pangeran Rangga Dirja ketiga mempunyai seorang guru yang limpad dalam
hal ilmu kebatinan serta keagamaan, yakni Kyai Mokhamad Basori. Pada
waktu itu Pangeran Rangga Dirja ketiga berkeinginan hendak menaklukkan
Kabupaten Magetan. Maksud dan niatnya ini disampaikan kepada gurunya,
Kyai Mokhamad Basori. Namun Kyai Mokhamad Basori sama sekali tidak
menyetujuinya, dan menyarankan supaya gagasan itu dihilangkan saja.
Maksud dan keinginan hendak berperang melawan Magetan supaya
dibatalkan.
Tetapi Rangga
Dirja ketiga tetap bersikeras pada pendiriannya.. Tetap akan menaklukkan
Magetan. Kecewa akan sikap muridnya yang keras kepala ini, maka Kyai
Mokhamad Basori lalu pergi meninggalkan Kranggan.t Dan sudah menjadi
takdir Yang Maha Kuasa, maka Kyai Mokhamad Basori lenyap tanpa bekas
sama sekali.
Demikianlah
Rangga Dirja ketiga tetap memerangi Magetan, Rupanya karena tidak
mendapat restu dari sang guru, Rangga Dirja mengalami kegagalan untuk
menaklukkan Magetan. Rangga Dirja ketiga kalah.
Sangatlah kecewa
hati Pangeran Rangga Dirja ketiga atas kegagalannya tersebut. Maka,
pergilah ia menghadap ayahandanya di Keraton Yogyakarta. Konon menurut
kata yang empunya cerita, dalam menempuh perjalanannya ke Yogyakarta,
ia melewati kota Delangu. Di sana ia melihat ada orang menggembalakan
kambingnya yang sangat banyak. Di antara kambing itu, ada seekor yang
sangat indah warnanya. Gusti putri Maduretna istri Pangeran Ranga Dirja
sangat tertarik akan kambing yang elok tadi. Maka ia pun menyampaikan
keinginannya untuk memiliki kambing itu, kepada suaminya. Rangga Dirja
menjawab,
“Ya, walaupun kambing itu sangat indah, tetapi itu bukan milik kita”.
Namun Gusti
Putri Maduretna tetap pada pendiriannya. Ia menangis, ingin memiliki
kambing yang sangat elok itu. Karena sangat cintanya kepada istrinya,
tak tegalah Pangeran Rangga Dirja ketiga membiarkan istrinya menangis.
Maka dipanggilnyalah penggembala kambing itu, katanya,
“Kakek,
kambingmu sangat banyak dan ada yang sangat baik, dan yang baik itu
rupanya diingini oleh tuanmu putri. Seandainya kambing itu saya minta,
apakah kamu rela? Orang,yang menggembala lalu menjawab” Tidak. Tidak
tuan! Tuan beli pun tidak akan saya berikan.” Kemudian pangeran Rangga
berkata lagi. “Dan kalau saya beli harganya berapa ?”
Orang yang menggembala kambing itu lalu menjawab lagi, “Walaupun tuan beli tidak akan saya berikan.”
Jawaban dari penggembala itu menjadikan beliau marah, dan orang yang menggembala kambing itu dibunuh.
Kemudian
pangeran Rangga dan istrinya pergi ke Yogyakarta. Sepeninggal pangeran
Rangga dan istrinya, lalu ada berita atau laporan dari keraton Sala,
yang mengatakan bahwa pangeran Rangga Dirja telah membunuh seorang
penggembala kambing, padahal kambing itu kepunyaan Keraton Sala.
Setelah itu
Keraton Sala minta keterangan kepada Sultan Yogyakarta yang maksudnya
bertanya, bahwa jika ada orang yang membunuh orang bagaimana menurut
hukum dan harus diberi hukuman apa orang tersebut, maka Sultan
Yogyakarta menjawab bahwa orang yang membunuh harus dibunuh. Kemudian
Keraton Sala mengirim surat, ke Yogyakarta bahwa Pangeran Rangga Dirja
harus dibunuh karena telah membunuh penggembala kambing.
Sultan
Yogyakarta tidak tega untuk membunuhnya maka terpaksa putranya tadi
disuruh pergi mengembara dengan diiringkan oleh Patih Danurejo dan
disertai pesan yang berbunyi,
“Jika jauh supaya didekati dan jika dekat supaya dijauhi.”
Inilah kemudian
Keraton Sala merasa sungkan lalu membuat surat rahasia yang diberikan
kepada Patih Danurejo. Dalam surat itu Keraton Sala berkata kepada Patih
Danurejo,
“Apa kamu tidak
senang mengganti Sultan di Yogyakarta, sebab Sultan Yogyakarta sudah
lanjut usia. Nanti jika Sultan sudah meninggal dan Pangeran Rangga Dirja
masih hidup beliau pasti akan menggantikan
Sultan
Yogyakarta. Dan seandainya Pangeran Rangga Dirja sudah tiada pasti kamu
yang akan diangkat menjadi Sultan Yogyakarta.” Setelah Patih Danurejo
mengetahui hal itu maka beliau menjadi sangat bangga.
Kemudian
Pangeran Rangga Dirja lalu diserangnya dan dibunuh. Setelah itu mayatnya
dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup Yogyakarta. Sedangkan Putri
Maduretna yang telah menderita sakit ditanya oleh gurunya sendiri yang
bernama Kyai Mochamad Kayah, seorang alim ulama,
“Nek, . . . nanti jika sudah datang waktunya sebaiknya dimakamkan di mana ?”
“Yang baik supaya dimakamkan di puncak gunung Ngrancang Kencana/Gunung Bancak” jawab Putri Maduretna.
Setelah itu
Gusti Maduretna kemudian meninggal dunia dan seperti yang dimintanya,
beliau dimakamkan di puncak gunung Bancak. Menurut dongeng selanjutnya
makam tadi dibangun menjadi sebuah cungkup, malahan yang dipergunakan
untuk tiang cungkup itu ialah pohon sana yang besar-besar, dan batu
merahnya mulai dari Maospati sampai di puncak gunung Bancak, cara
mengangkutnya dilakukan dengan jalan beranting yaitu orang-orang
berbaris berjejer-jejer dari Maospati sampai di puncak gunung Bancak itu
dengan membawa sebuah batu bata yang kemudian diberikan kepada orang di
sebelahnya. Demikian terus menerus akhirnya sampai berupa cungkup yang
amat besar.
Berhubung Gusti
Putri Maduretna dimakamkan di Giripurno, ini sudah barang tentu para
kerabat dari ratu mempunyai pikiran, siapa yang harus disuruh menjaga
dan memelihara makam itu.
Karena pada
waktu itu orang yang paling tua umurnya di Bancak ini bernama Truno Sapa
lalu para sanak saudara ingin agar Truno Sapa saja yang disuruh menjaga
atau memelihara dan membersihkan sekitar desa Giripurno yang luasnya
405 ha. Dan ini sudah sebagai upah atas jerih payah orang yang disuruh
menjaga tadi.
Mengingat Gusti
Putri Maduretna sudah memeluk agama Islam dan Truno Sapa masih memeluk
agama Budha, sudah barang tentu hal ini tidak cocok, sebab orang yang
beragama Budha menjaga dan memelihara orang yang beragama Islam, dan
selanjutnya ada laporan dari Truno Sapa bahwa dari keluarga Truno Sapa
tidak menyetujui, jadi Truno Sapa tidak jadi memegang kepala Perdikan
itu. Kemudian cara yang baik mengambil alim ulama dari Klantangan
Magetan yang bernama
Kyai Nur Suhada
yang disuruh menjaga dan memelihara makam Gusti Putri Maduretna yang
kemudian diberi upah seperti yang telah disebutkan di atas yaitu berupa
tanah yang luasnya 405 ha. Ia juga dibebani tugas agar membuat tata
tertib desa itu dan selanjutnya Kyai tadi bernama Kyai Puru Kunci, yang
juga kepala Perdikan.
Kalau anda seorang pecinta alam daerah pegunungan ini bisa
dijadikan pilihan untuk mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan
wisata alam dan penjelajahan. Panorama alamnya yang indah bisa menjadi
alternatif untuk mengisi liburan anda sambil belajar mengenal alam dan
belajar lebih bersahabat dengan alam.
Ceritanya nggak sesuai sejarah
BalasHapustulisannya ngawur.
Hapussejak kapan pula islam mengajarkan menaklukan alam?
belum lagi sejarah yang ditulis kok ngawur.
lembaga pendidikan menyesatkan ya?